Oleh : Ermelinda Noh Wea*
Peran seorang ibu adalah peran yang agung, penuh pengorbanan, dan tidak mudah. Sejak mengandung hingga membesarkan anak, seorang ibu mengorbankan waktu, tenaga, kenyamanan, bahkan jati diri. Dalam banyak kasus, perjuangan ini dilakukan dalam kondisi yang tidak ideal terutama ketika ibu juga harus menghadapi tekanan ekonomi, masalah rumah tangga, kurangnya dukungan sosial, hingga keterbatasan mental dan emosional.
Sayangnya, dalam keterdesakan dan kelelahan yang tidak berujung, banyak ibu yang akhirnya menjadikan anak sebagai sasaran pelampiasan. Ketika kondisi rumah tangga sedang tidak harmonis, ketika ekonomi keluarga terasa menghimpit, ketika tidak ada ruang untuk istirahat atau sekadar bernapas lega emosi yang menumpuk itu sering tumpah kepada sosok yang paling tidak berdaya adalah anak.
Anak tidak pernah bersalah, anak adalah makhluk yang paling polos. Mereka lahir ke dunia tanpa dosa dan tanpa pilihan. Mereka tidak mengerti apa itu tekanan ekonomi, konflik pasangan, atau beban mental yang dipikul orang tuanya. Yang mereka tahu hanyalah siapa yang mencintai dan siapa yang tidak.
Ketika seorang ibu membentak, memukul, atau mengabaikan anak karena sedang berada dalam tekanan, maka yang diterima anak bukan pemahaman, melainkan luka. Luka itu bisa membentuk persepsi keliru tentang cinta, kasih sayang, dan harga dirinya sendiri.
Memang tidak adil jika ibu dipaksa terus kuat tanpa ruang untuk istirahat. Maka penting untuk menggarisbawahi bahwa solusi bukan menuntut ibu menjadi “sempurna”, melainkan memberikan dukungan, kesadaran, dan alternatif tindakan sehat di tengah tekanan yang nyata.
Ada beberapa langkah dan solusi yang dapat dijadikan pegangan bagi para ibu yang sedang berada dalam situasi sulit.
1. Mengelola emosi dengan sadar.
Saat amarah mulai naik, ambillah jeda. Tarik napas dalam-dalam, tinggalkan ruangan sebentar, atau alihkan perhatian ke aktivitas ringan seperti berdoa, mencuci muka, atau meminum air. Ketenangan tidak selalu datang dari luar; kadang, kita bisa menciptakannya sendiri dengan menyadari bahwa marah kepada anak tidak menyelesaikan apa pun.
2. Bentuk dukungan emosional sederhana. Carilah teman berbagi, walau hanya satu orang. Mungkin tetangga, sahabat lama, atau sesama ibu di lingkungan sekitar. Jangan ragu untuk mengatakan, Saya sedang tidak baik-baik saja. Terkadang hanya dengan bercerita, beban emosional dapat berkurang tanpa harus meledak di depan anak.
3. Gunakan waktu istirahat kecil untuk diri sendiri. Luangkan waktu 10–15 menit setiap hari hanya untuk diri sendiri, meski harus dilakukan saat anak tidur atau sedang bermain. Gunakan waktu itu untuk merenung, mendengarkan musik yang menenangkan, atau menuliskan isi hati. Ini bukan egois, melainkan bentuk pemulihan jiwa yang sangat penting.
4. Manfaatkan bantuan sosial atau komunitas. Jika tekanan berasal dari faktor ekonomi, jangan ragu mencari bantuan. Banyak komunitas, lembaga keagamaan, atau dukungan ibu-ibu dengan kondisi serupa. Meminta bantuan bukanlah tanda kelemahan, melainkan keberanian untuk bertahan.
5. Belajar dari sumber yang terjangkau.
Di era digital, banyak sumber pengetahuan parenting, psikologi keluarga, dan pengelolaan emosi yang tersedia secara gratis. Menonton video edukatif, membaca artikel, atau mengikuti diskusi daring bisa menjadi sumber kekuatan baru dan membuka wawasan bahwa kita tidak sendiri.
6. Doa dan Spiritualitas. Bagi banyak ibu, kekuatan batin diperoleh melalui hubungan yang kuat dengan Tuhan. Menyisihkan waktu untuk berdoa atau bermeditasi bisa menjadi cara sederhana namun efektif untuk menenangkan diri dan memperkuat hati dalam menghadapi realita hidup yang keras.
Mewariskan kasih sayang jauh lebih sulit daripada mewariskan luka. Namun kasih yang diwariskan dengan penuh kesadaran akan tumbuh menjadi kekuatan besar yang membentuk pribadi anak menjadi sosok yang kuat, penyayang, dan berjiwa sehat. Marilah kita sebagai ibu berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menjadikan anak sebagai korban dari luka yang belum sembuh dalam diri kita. Karena pada akhirnya, cinta yang diberikan dengan tulus hari ini akan menjadi warisan terbaik bagi masa depan anak-anak kita.
Wariskan kasih, bukan luka, anak adalah amanah suci. Ia tidak meminta dilahirkan, tidak tahu apa itu masalah orang dewasa. Maka sudah sepantasnya ia dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kasih, bukan kemarahan.
Kepada para ibu yang sedang lelah, kecewa, atau tertekan ketahuilah, Anda tidak sendirian. Anda bukan ibu yang buruk hanya karena merasa ingin menyerah. Tetapi Anda perlu menyadari bahwa melukai anak tidak akan pernah menjadi solusi, dan luka yang ditanam hari ini bisa tumbuh menjadi beban yang dibawa anak sepanjang hidupnya.
Mari para ibu saling menguatkan, saling mengingatkan. Bahwa cinta seorang ibu bukan hanya tentang melahirkan, tetapi tentang memilih untuk tetap lembut bahkan ketika dunia terasa keras. Anak tidak butuh ibu yang sempurna, tapi butuh ibu yang berusaha untuk tetap mencintai meski dalam keterbatasannya.
*) Penulis adalah Ketua Pemuda Katolik Nagekeo. Saat ini mengabdi dan menetap di Nagekeo.