Nagekeo, FloresFiles.com— Kampung Boanio di Desa Olaia, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, NTT, akhir pekan itu Sabtu 12 Juli 2025, tampak lebih ramai dari biasanya. Sedari siang, ribuan orang datang dari segala penjuru wilayah berkumpul di tengah kampung persis di depan rumah adat suku Nataia. Orang-orang berdatangan memadati arena kurang lebih 15 x 15 meter yang sudah dibatasi pagar keliling.
Ratusan kendaraan berjubel di areal parkir dan jalanan. Selain menyaksikan atraksi pengunjung juga dapat menikmati sajian kuliner disekitar kampung. Teriakan gemuruh menggema seantero kampung, anak-anak bergelantungan di dahan – dahan pohon depan rumah, sejumlah lelaki muda berdiri di atas atap mobil dan sadel sepeda motor.
Di dalam arena dua orang laki-laki dewasa bertelanjang dada tengah asyik bertarung. Bak gladiator zaman Romawi kuno dua orang pria secara bergantian diadu untuk berkelahi mengadu kekuatan dan ketangkasan di hadapan penonton. Sebelum maju bertarung, masing-masing pendukung dari dua sisi menawarkan jagoan mereka menantang petinju yang disiapkan oleh pihak sebelah. Ketika dirasa cocok, kedua petinju kemudian bersepakat untuk maju bertarung.
Keseruannya mirip pertarungan dua gengster dalam serial film kolosal. Sesekali penonton berteriak histeris memekakkan telinga memberi dukungan kepada masing-masing jagoan yang diadu ke tengah arena. Pertarungan dimaksud adalah Etu, acara tinju adat suku Nataia yang dilaksanakan rutin setiap tahun secara turun temurun sejak jaman nenek moyang usai panen.
Meski Etu merupakan sejenis olahraga tinju, akan tetapi sedikit berbeda dengan tinju konvensional. Saat bertarung dalam arena dua orang petarung didampingi empat orang pria dewasa lain. Dua orang bertugas mengapit masing-masing petinju mengunakan kain adat yang dilingkar di pinggang dari arah belakang. Dua orang ini biasa disebut sike. Tugasnya mengatur ritme pertarungan saat kedua petarung saling jual beli pukulan.
Sementara dua orang lainya berada di samping kiri dan kanan memantau jalanya pertarungan. Meski begitu keduanya bukan wasit, karena dalam Etu tidak ada wasit. Jalanya pertarungan diatur secara bersama didampingi Ketua suku dan fungsionaris suku yang setia berada dalam arena hingga pertandingan selesai. Dua orang ini bertugas untuk melerai ketika keadaan sudah tidak kondusif. Mereka yang bertugas melerai ini dinamakan Seka.
Dinas PUPR Manggarai Rancang Aplikasi Larisa, Petani Bisa Lapor Langsung Kerusakan Irigasi
Perbedaan lain antara olahraga tinju pada umumnya dengan Etu juga dapat dilihat dari peralatan yang digunakan. Jika tinju konvensional menggunakan sarung tinju maka petarung Etu menggunakan kepo yang terbuat dari sabut kelapa.
Kepo digenggaman oleh masing-masing petinju untuk memukul lawannya. Tidak ada aturan khusus menyangkut lamanya bertanding. Dua petarung paling banter masing-masing diberi kesempatan tiga ronde untuk bertarung.
Kendati saling memukul lawannya dengan sangat ganas tanpa ampun hingga menimbulkan cidera serius, akan tetapi Etu bukan bertujuan untuk mencari pemenang. Setelah selesai keduanya kembali berdamai dan saling berpelukan meski tak pelak ada yang pelipis robek, hidung berdarah bahkan hingga kepala bocor. Etu bagi suku Nataia merupakan ucapan rasa syukur dan jalinan persaudaraan. Meski begitu bagi sebagian pria Nataia Etu merupakan simbol lelaki sejati.
Makna dan Rangkaian Acara
Suku Nataia merupakan salah satu suku di Nagekeo yang menggelar Ritus tinju adat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Etu. Atraksi dimaksud biasanya digelar secara rutin setiap tahun dimulai sejak tanggal 10 Juli sampai dengan 13 Juli sesuai dengan kalender adat yang ditetapkan Ketua Suku atau Masyarakat Pemangku Adat Suku Nataia. Rangkaian acara Etu ini melibatkan seluruh anggota Suku Nataia yang biasa dikenal dengan istilah Ana Woso Ebu Kapa.
Makna dari atraksi tinju adat yakni mengajak generasi muda untuk semakin mempererat persaudaraan atau kebersamaan, dengan sikap konsistensi, dan saling menghargai dengan harapan agar dapat membentuk karakter setiap orang. Peserta pelaku tinju petarung boleh berasal dari kampung yang berbeda.
Warga Tonggorambang Ogah Tinggalkan Tanah Transad: Kami Bersumpah Tak Akan Mundur!
Petarung dibagi dalam dua kelompok yakni kelompok anak-anak dan kelompok dewasa. Anak muda biasanya menjadi yang paling sering bertarung dalam ritual sebagai bentuk pencarian jati diri.
Makna dari Atraksi tinju adat adalah syukuran atas hasil panen, juga sebagai lambang keperkasaan seorang laki-laki kalau jelas Ketua Suku Nataia, Patrisius Seo.
“Etu ini sudah diwariskan dari nenek moyang mereka sejak dulu kala, dan merupakan bagian integral dari rangkaian adat selama menanam hingga memanen. Etu dan ritual adat lainnya harus dilaksanakan di Kisa Nata atau alun-alun dan Sa’o Waja atau rumah adat. Meskipun ritualnya adalah tinju tapi maknanya adalah perdamaian” jelas Patris.
Kedua tempat tersebut merupakan pusat aktivitas adat dan kebudayaan masyarakat setempat. Di tengah kisa nata terdapat tugu kayu bercabang dua yang dipancang di atas batu bersusun yang melambangkan/ simbol persatuan dan persekutuan masyarakat dan disebut Peo.
Biasanya sebelum dan sesudah ritual tinju adat dilaksanakan ada beberapa ritual yang menarik dan dapat dinikmati oleh pengunjung/ wisatawan yakni mulai dari Wari Go Laba artinya Jemur Gong Gendang di hari pertama. Wari Go Laba dilakukan selama satu hari, awalnya gong gendang diturunkan dari rumah adat, diminyaki dijemur. Tinju adat baru bisa dimulai setelah pukul gong untuk mengundang orang datang menyaksikan Etu. Setelah gong dipukul oleh kepala Suku, ritual Etu baru bisa dimulai. Biasanya diawali dengan Etu oleh anak-anak dan remaja.
“Hari pertama biasanya Etu anak-anak disebut Etu Pate, setelah itu lanjut malam hari dengan tarian dan syair adat” paparnya.
Usai menggelar Etu di siang hari, ritual dilanjutkan pada malam hari yaitu tarian yang diiringi syair-syair adat oleh Fungsionaris Suku. Ritual ini oleh masyarakat adat Nataia disebut dengan istilah Teke yang dilaksanakan di atas arena Etu. Ada banyak pesan-pesan dan makna yang terkandung dalam syair-syair adat itu, salah satunya adalah mengingatkan masyarakat adat Nataia dari generasi ke generasi untuk tetap mewarisi budaya ini sampai kapanpun.
“Teke biasanya adalah gerakan mirip tarian dilakukan oleh beberapa orang dengan membentuk lingkaran diiringi syair-syair adat penuh makna” jelas Dia.
Ritual Etu Suku Nataia biasa dilaksanakan selama empat hari. Selesai Etu, upacara adat berikut adalah Dhongi Koti (permainan gasing). Patris menjelaskan bahwa sudah sekian lama, ritual ini dilalui hanya sekedar simbolik. Dhongi Koti merupakan ritual terakhir dari serangkaian kegiatan selama pelaksanaan Etu sejak hari pertama. “Dhongi Koti dilakukan oleh Ketua Suku yang mana memainkan gasing di tengah arena Etu sebagai pertanda bahwa Etu telah selesai dilaksanakan” ujarnya.
Potensial Menarik Wisatawan
Atraksi tinju adat Kampung Nataia merupakan salah satu atraksi yang diselanggarakan oleh masyarakat adat pada umumnya yang tersebar pada 31 kampung adat di Kabupaten Nagekeo.
Rangkuman FloresFiles Etu yang dilaksanakan Suku Nataia setiap tahun bukan hanya rutinitas aktraksi budaya semata yang cuma melibatkan masyarakat adat yang mendiami hak Ulayat suku akan tetapi mampu melibatkan penonton dari berbagai wilayah.
Etu sendiri sudah menjadi bagian dari acara atau festival budaya yang dapat menjadi daya tarik wisata yang kuat, menarik wisatawan. Ini terlihat dari begitu tingginya animo penonton yang datang di setiap perhelatan ini berlangsung. “Senang bisa nonton langsung, ternyata seru juga” ungkap salah satu penonton.
Bersangkutan dengan promosi potensi wisata budaya, Etu dinilai sebagai satu warisan budaya, memiliki potensi besar untuk meningkatkan perekonomian lokal dan melestarikan warisan budaya yang mana even serupa mampu menarik minat wisatawan.
Serangkaian acara menjelang maupun pasca Etu berlangsung menunjukkan bahwa kebudayaan asli yang dimiliki oleh suku Nataia yang sudah dilestarikan secara turun temurun ini sangat potensial menjadi daya tarik utama bagi wisatawan yang mencari pengalaman unik dan autentik. (Red)