Budaya  

SOPHIE, KARNAVAL DAN RAYUAN SETAN

stefanus-wolo-itu3
swiss-karnaval
swiss-karnaval1
swiss-karnaval2
swiss-karnaval3
swiss-karnaval
stefanus-wolo-itu

Oleh : Stefanus Wolo Itu
Kirchgasse 4, 5074 Eiken AG Swiss.
Senin Malam 10 Maret 2025

SOPHIE

Hari Minggu sore 9 Maret kemarin saya mengunjungi Sophie di Münchwilen. Sebuah kampung kecil tetangga Eiken. Nama lengkapnya Sophie Winter. Saya mengenalnya sejak bulan Desember 2014. Dia rajin mengikuti perayaan ekaristi. Juga kegiatan sosial kemanusiaan di paroki.

Suaminya Oskar sudah meninggal tahun 2004 lalu. Saat ini Sophie berusia 93 tahun. Dia tak mau ke rumah jompo. Sophie memilih tetap tinggal di rumahnya. Kata Sophie: “Rumahku adalah istanaku. Aku ingin mandiri dan sampai mati di istana ini!”

Sejak Covid 2019 Sophie tidak bisa ke gereja lagi. Dia minta agar setiap bulan saya mengunjunginya. Saya melayani pengakuan, komunio kudus dan pengurapan orang sakit. Kami berdoa dan bernyanyi bersama. Selanjutnya ia menghidangkan kopi dan kue. Sophie berkisah tentang masa kecil dan masa muda di Mumpf, tepi sungai Rhein. Indah! Tentang kisah cintanya bersama Oskar. Romantis! Mereka menikah terlambat. Sophie berusia 59 tahun. Oskar 62 tahun.

Awal-awalnya Sophie menyapa saya Herr Pfarrer Stefan. Tuan Pastor Stefan. Sapaan kehormatan generasi tua kepada seorang Pastor. Saya sangat risih. Rasanya tak pantas menerima sapaan itu. Saya pingin disapa Stefan saja. Lebih egaliter dan bersaudara. Dekat dan bersahabat. Tapi Sophie selalu menyapa Herr Pfarrer. Satu kesempatan saya katakan: “Saya tidak akan kunjung lagi. Bila masih menyapa Tuan Pastor”. Sophie tertawa terbahak-bahak dan katakan: “Ya, mulai sekarang saya panggil Stefan!”

Sejak itu Sophie setia menyapa saya Stefan. Dia suka memuji saya. Juga menasihati saya. Saya balas memuji dia. “Namamu Indah. Sophie dalam bahasa Yunani artinya bijaksana. Engkau ibu yang bijaksana dari Münchwilen. Engkau juga pemilik musim dingin. Winter artinya musim dingin. Tetap memberikan kehangatan cintamu untuk sesama”. Ia tertawa penuh sukacita mendengar pujian saya.
Sore kemarin kami berceritera tentang musim dingin, salju, musim semi dan bunga. Dan tak kalah menarik tentang pesta budaya: karnaval.

KARNAVAL

Ia bertanya: “Apakah Stefan pernah nonton pesta karnaval?” Saya menjawab: “Pertama kali saya menonton karnaval saat tinggal di komunitas SVD Sankt Agustin Jerman. Di kota Bonn, Jumat 28 Pebruari 2014 dan di Köln, Senin 3 Maret 2014”. Walter Krahe, direktur kursus bahasa Jerman mengajak kami menonton kedua karnaval itu. “Karnaval merupakan satu pesta budaya Jerman, Eropa bahkan dunia. Menonton karnaval merupakan bagian kursus bahasa Jerman. Kita melihat apa yang bakal terjadi di sana”, demikian Herr Krahe.

Saya mengagumi karnaval itu. Ada barisan panjang kendaraan. Truk dan traktor dihias indah dan antik. Tak kalah seru grup-grup rombongan manusia. Ada yang berjalan tegak. Ada yang santai. Sambil goyang dan menari. Mereka mengenakan pakaian dan topi warna warni. Wajah mereka juga dirias warna warni. Tak kalah menarik wajah-wajah bertopeng. Ada yang serem menakutkan. Ada yang mengundang senyum dan tawa. Parade panjang itu juga dimeriahkan “Guggenmusik atau alat-alat musik tiup yang terbuat dari kuningan”. Juga diiringi drum dan gendang. Membahana dan penuh kebisingan.

Pesta budaya ini sebenarnya memiliki tiga nama berbeda yakni Fasnacht, Fasching dan Karneval. Fastnacht artinya malam sebelum prapaskah. Atau Selasa sebelum Rabu Abu. Malam sebelum Fastenzeit atau waktu puasa. Istilah Fastnacht digunakan di beberapa wilayah Jerman, Luxemburg, Austria, Lichtenstein dan Swiss.

Kata “Fasching” digunakan di Bavaria(Bayern), Austria dan Saxony(Orang-orang Jerman Utara dan Skandinavia selatan). Fasching berkaitan dengan kata “Fastenschank” yaitu sajian terakhir minuman beralkohol sebelum masa prapaskah. Selama pesta Fasching orang-orang meminum banyak alkohol. Bahkan sampai mabuk. Kata Fasching sangat terkenal di Nuremberg dan Würzburg. Kedua kota ini memiliki prosesi Fasching terbesar di Jerman Selatan. Hampir 1000 orang hadir di sana.

Pada abad ke 17 muncul istilah Karneval. Ada yang mengaitkan karnaval dengan ungkapan Latin “Carrus Navalis” atau kereta kapal. Orang-orang merancang kapal di atas untuk mengikuti pawai karnaval. Hal ini hendak menandai dimulainya pengiriman barang melalui sungai. Istilah ini kemudian dianggap kurang pas.

Kemudian muncul istilah baru “Carnem Levare”. Artinya menghilangkan daging. “Carnem Levare” kemudian berubah menjadi “Carnelevale”. Istilah ini mengingatkan masa prapaskah sebagai periode tanpa daging. Carnecale! Selamat tinggal daging. Penafsiran ini rupanya lebih sesuai dengan nama Apokris dalam bahasa Yunani. Artinya daging menjauh. Kata Karneval banyak digunakan di Rheinland atau kawasan tepi sungai Rhein. Misalnya Bonn, Köln dan Düsseldorf.

Kapan pesta ini dimulai? Di beberapa wilayah berbahasa Jerman musim karnaval dimulai pada perayaan Epifani 6 Januari. Bahkan sejak abad ke 19, musim karnaval sudah dimulai tanggal 11 Nopember jam 11. Tanggal itu bertepatan dengan pesta Santo Martin. Kebiasaan ini terutama di wilayah-wilayah katolik. Pada masa lalu beberapa wilayah Eropa menjalankan puasa sebelum natal. Rentang waktu 40 an hari dijadikan sebagai masa kontemplasi persiapan natal.

Tapi pawai karnaval baru dimulai pada bulan Pebruari atau Maret. Ada yang memulai pawai beberapa minggu sebelum Rabu Abu dan menutupnya pada hari Selasa sebelum Rabu Abu. Contoh di Bonn dan Köln. Sedangkan warga kota Basel Swiss merayakan karnaval pada hari senin sesudah Rabu Abu. Tahun ini jatuh pada hari Senin 10 Maret 2025. Karnaval Basel diawali dengan Morgestreich. Pada pukul empat pagi semua lampu jalan kota Basel dipadamkan. Seluruh peserta karnaval hanya diterangi ratusan lentera. Mereka memainkan Guggenmusik, menabuh drum, seruling, siul bebas dan hanya disinari cahaya lentera.

Saat pesta karnaval masyarakat mengkonsumsi makanan yang tak boleh dimakan pada masa prapaskah. Seperti daging, lemak, minyak babi, telur dan susu. Karnaval merupakan kesempatan untuk menghabiskan sisa-sisa makanan musim dingin. Mereka berpesta, menyanyi, menari dan main musik. Semuanya untuk melepaskan kepenatan.

Karnaval sering menjadi kesempatan menyampaikan kritik sosial. Mereka mengeritik pemimpin politik dan pemerintah. Mereka mengolok dan mengejek pimpinan gereja. Saya tersenyum ketika membaca spanduk kritikan yang dipegang wajah-wajah bertopeng. Saya sempat merenung. Wah rupanya mereka berani mengeritik bila bertopeng! Saya ingat kata-kata pegiat media sosial Perancis, Cory Duchesne: “Beri seseorang topeng, dan dia akan memberitahumu kebenaran yang lebih dalam dan lebih gelap. Namun ia juga akan lebih kasar dan tidak bertanggungjawab”.

Satu pertanyaan menggelitik: “Mengapa saat karnaval orang menggunakan topeng, aneka kostum dan musik yang menggelegar?” Secara tradisional, warga Abendland atau penghuni benua matahari terbenam mengenakan kostum, topeng dan kebisingan untuk menakut-nakuti setan dan mengusir musim dingin. Suara genderang dan parade warna-warni bertujuan membangunkan musim semi. Matahari mulai sering muncul. Bunga-bunga indah tumbuh dan berbunga. Ranting-ranting pohon mulai bertunas. Para petani membajak lahan dan siap menanam.

RAYUAN SETAN

Saat hendak pulang ke pastoran, Sophie katakan: “Stefan, terima kasih atas kunjungan. Karnaval sudah selesai. Saat bersenang-senang telah usai. Musik dan kebisingan sudah lewat. Selamat menjalani masa puasa. Kita berpuasa, berdoa dan memberi sedekah. Hindari makan enak dan minuman beralkohol. Jauhkan dirimu dari daging, lemak, susu, mentega, telur, keju dan coklat”.

Sophie mengingatkan imamnya. Imam perlu taat, berkorban dan setia kawan. Perlu mendalami iman. Retret, doa harian, meditasi, baca kitab suci dan ekaristi. Taat kepada Allah. Perkuat ikatan batin dengan Tuhan. Ingat sesama yang berkekurangan.

Sambil tertawa, Sophie katakan pada saya: “Stefan, hati-hati dengan setan. Setan suka kunjungi gereja Eiken. Dia suka mengunjungi biara dan seminari di mana saja. Setan juga suka mengunjungi engkau di pastoran Eiken”. “Der Teufel schläft nicht. Setan tidak pernah tidur”, kata Dostojewski, novelis Rusia 1821-1881. Er versucht immer wieder. Dia akan terus mencoba. Setan kaya metode rayuan hingga kita berdosa. Dosa membuat kita miskin dan menghancurkan hati. Dosa menawan, memperbudak dan membutakan kita.

Saat tiba di pastoran saya coba merenung. Benar juga eeee…. Setan tidak datang mengenakan jubah merah, wajah bertopeng serem, tanduk runcing seperti peserta karnaval. Setan datang sebagai segalanya yang saya inginkan. Salah satunya agar berhati-hati dengan uang. Jangan pernah menjadikan uang seperti Tuhanmu. Uang akan mengganggumu seperti setan!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *