MBAY, FloresFiles.com — Pada malam acara puncak Nagekeo One Be Festival pada tanggal 07 Desember 2023 akan menampilkan tarian ritual adat masyarakat adat Mbay yaitu ritual Kaijo.
Kaijo merupakan sebuah ritual adat dalam komunitas masyarakat adat Mbay yang berisi nyanyian berupa pantun dan tarian selama 5 malam secara berturut-turut.
Ritual Kaijo ini diyakini masyarakat adat Mbay memiliki kekuatan magis religius hingga terbukti secara turun-temurun mampu menghentikan dari setiap serangan hama.
Tujuan dari Kaijo itu sendiri untuk menyelamatkan hasil panen, ketahanan pangan di tingkat lokal, dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Muhayam Amir yang merupakan salah satu tokoh dari masyarakat adat Mbay menceritakan bahwa ritual ada Kaijo lahir sebagai akibat dari datangnya serangan hama terhadap tanaman pertanian.
Di awal peristiwa ini, masyarakat adat Mbay merespon dengan cara-cara yang sangat emosional seperti mencaci, menghujat, bahkan sampai pada membakar dan memusnahkan tempat-tempat tertentu yang dianggap sebagai tempat berkembang biaknya hama-hama tersebut.

Ekspresi emosional ini kemudian dilakoni selama ritual Kaijo, namun cara ini lambat laun ternyata tidak menyelesaikan persoalan hama, justru serangan hama semakin masif dan sampai berdampak pada gagal panen dan terjadinya kelaparan di mana-mana.
Dalam situasi sulit dan terpuruk, para leluhur hanya bisa pasrah secara total pada sang pencipta. Suatu ketika, dalam renungan panjang mereka, pada akhirnya mereka mendapatkan sebuah petunjuk (dalam bahasa Mbay: Toingnot) bahwa tidak ada cara lain kecuali membuat ritual untuk mengembalikan keseimbangan lingkungan.
Dengan bekal kematangan emosional dan kesadaran berpikir yang tinggi, mereka mampu menemukan sebuah konsep ritual yang dikenal dengan nama Kaijo.
Dalam bahasa Mbay, Kaijo terdiri dari dua suku kata yaitu “Kaik” dan “Jo’o”.
Kaik artinya membiarkan, sementara Jo’o artinya menghentikan. Kaik dan Jo’o kemudian dirangkaikan menjadi satu kata yaitu Kaijo.
Leluhur masyarakat adat Mbay pada zamannya memandang hama-hama tersebut adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dengan tujuan tertentu, sehingga hama-hama tersebut tidak boleh dimusnahkan dengan dalil apapun.
Sehingga dalam ritual Kaijo, hama-hama tersebut ditangkap dan dibiarkan hidup sampai pada saatnya tiba baru disingkirkan secara hidup-hidup ke tempat asa-usulnya yang mana tempat tersebut dipercaya sebagai asal muasal hama.
Dalam tradisi masyarakat adat Mbay, Kaijo salah satu ritual tahunan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghentikan setiap pergerakan hama yang menyerang tanaman pertanian.
Upaya ini dilakukan dengan cara berdasarkan kearifan lokal yaitu menyingkirkan hama-hama tersebut secara alami ke tempat asalnya melalui sebuah ritual yang di sebut Kaijo
Metode penyingkiran hama ini dilakukan dengan menangkap berbagai jenis hama dalam keadaan hidup, lalu dimasukkan ke dalam sebuah wadah yang terbuat dari bambu atau dalam bahasa Mbay biasa disebut Teru.
Dalam ritual ini, semua petani wajib membawa hama-hama yang sudah dimasukkan dalam Teru-teru itu dan digantung di sekeliling Ngandungmoles (bangunan yang terdiri dari susunan batu melingkari pohon yang hidup. Susunan batu sebagai simbol persatuan masyarakat adat, sementara pohon yang hidup sebagai simbol pemimpin yang tegas, bijaksana dan melindungi).

Hama ini kemudian diritualkan pada malam kelima Kaijo, tepatnya pagi sebelum fajar, hama-hama tersebut kemudian ditempatkan pada Podho Nawung, asal-usulnya di sebuah bukit yang bernama Inewesan.
Setelah hama-hama tersebut diantar atau dikembalikan ke tempat asal-usulnya, maka rangkaian ritual adat Kaijo berakhir, sehingga masyarakat adat Mbay meyakini tidak akan ada lagi hama yang menyerang tanaman yang dapat merusak tanaman sehingga berdampak pada gagal panen.
Hal senada juga diceritakan oleh seorang budayawan masyarakat adat Mbay, Abdul Syukur Manetima.
Abdul Syukur menjelaskan, Kaijo adalah upacara tahunan sekali yang biasa dilaksanakan hanya pada musim penghujan atau musim tanam.
Kaijo pada masa leluhur bermakna erat kaitannya dengan hama tanaman. Kaijio hanya masyarakat adat Mbay yang diselenggarakan di kampung adat Mbay yang disebut Nggolombay.

Di sana ada Ngandung sebagai simbol pemersatu masyarakat mbay dan rumah adat yg disebut Rumah Ngandung Moles.
Seremoni adat Kaijo berkaitan erat dengan upacara untuk menolak hama atau penyakit yang merusak tanaman petani.
Kaijo dilaksanakan selama 5 malam berturut-turut dan pada malam ke-5 adalah malam puncak atau malam penutup dan paginya bersama-sama mengantar hama ke tempat yang telah ditentukan.
Jenis hama-hama tanaman yang harus disingkirkan atau dikembalikan ke tempat asal-usulnya saat ritual adat Kaijo seperti tikus, serangga, dan ulat yang merusak tanaman petani.
Dulu hama yang datang seperti ulat, belalang, dan tikus, memang benar-benar sulit dibasmi.
Satu- satunya cara yaitu segera melaksanakan ritual adat Kaijo. Apabila Kaijo sudah dilaksanakan, maka sesudah malam kelima hama-hama tersebut lambat laun hilang begitu saja.
Pada malam kelima yang perlu diperhatikan oleh petani yang hadir, harus dibawa Teru (semacam tabung bambu) yang diisi dengan jenis hama seperti ulat, walang sangit, belalang, dan tikus, dibawa ke tempat seremoni ritual adat Kaijo dan digantung di Ngandung Moles.
Bagi yang tidak hadir langsung pada ritual adat Kaijo, bisa dapat mengirim bambu yang sudah diisi hama untuk di ke tempat asal usulnya. Memang dahulu leluhur masyarakat adat Mbay sangat patuh dengan ketentuan ritual adat Kaijo.
Kaijo juga bisa bermakna ramalan cuaca/ curah hujan tahun berjalan serta sebagai pertanda pada tahun tersebut, petani akan memperoleh produksi pertanian baik.
Dalam rangkaian acara yang dilaksanakan pada pagi hari setelah mengembalikan hama ke tempat asal-usulnya sekaligus penutup Kaijo yang juga bermakna permohonan doa masyarakat adat Mbay dijauhkan dari mara bahaya atau bencana.
(Udin)