Oleh : Stefanus Wolo Itu
Kirchgasse 4, 5074 Eiken AG Swiss
Rabu Malam 12 Maret 2025
Hari Minggu malam 9 Maret 2025 jam 23.25 waktu Swiss atau jam 06.25 waktu Ledalero, P. Felix Baghi SVD menulis berita duka di WAG Alsemat Nusantara.
“Ledalero berduka. Mari kita mendoakan arwah P. Simeon Bera Muda SVD, dosen kitab suci yang telah berpulang pagi ini sekitar jam 05.30 di biara Simeon Ledalero. Semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan. Pater Simeon, terima kasih untuk kebersamaan kita di bukit sandar matahari. Kenangan tentang engkau tidak pernah habis di sini. Terima kasih konfrater dan saudara seniorku”.
Saya kebetulan belum tidur. Saya sedih dan berdoa singkat untuk almarhum. Saya ingat pertemuan terakhir kami di pastoran Ratesuba tahun 2002. Beliau datang memberikan pembekalan pastoral kitab suci. Ia menginap semalam di sana. Sejak itu kami tak pernah bertemu lagi. Kaget mendengar beliau meninggal dunia.
“Meski terlambat, saya harus menulis eulogi tentang P. Simeon. Ada banyak pengalaman bermakna seputar kebersamaan, persahabatan dan persaudaraan dengannya. Setiap hidup adalah ceritera. Terima kasih, telah menjadi bagian dari ceritera saya”, demikian niat saya.
Ingatan saya kembali ke Ritapiret dan Ledalero tigapuluhan tahun lalu. Saya melewati masa pembinaan di Ritapiret medio Juli 1989 hingga Mai 1997. Hampir delapan tahun saya berada di Seminari Tinggi Interdiosesan Santo Petrus. Jaman itu Ritapiret mendidik para calon imam diosesan dari sepuluh Keuskupan. Saya ingat: Samarinda, Sintang, Denpasar, Ruteng, Ende, Larantuka, Atambua, Dili, Kupang dan Weetabula. Saat ini Ritapiret hanya mendidik calon imam dari wilayah gerejawi Ende yakni Larantuka, Maumere, Ende, Ruteng, Labuan Bajo dan Denpasar.
Pendiri dan para pendamping generasi awal calon imam diosesan adalah para imam SVD. Saat menjelang akhir dasawarsa tujuhpuluhan baru para imam diosesan melanjutkan tugas kepemimpinan dan pembinaan. Adakah imam SVD yang memperkuat barisan pembina di Ritapiret setelah itu? Saya katakan YA. ADA. Saya sendiri mengalaminya.
Saya ingat dua imam SVD yang mengabdi di sana. Keduanya adalah P. Zakarias Ze SVD dan P. Simeon Bera Muda SVD. Saya tak tahu persis kapan P. Zakarias mulai tinggal di Ritapiret. Tapi waktu TOR tahun 1989, P. Zakarias sudah di sana. Para senior tentu lebih tahu. Tahun 1991 beliau pindah ke BBK Ende. Ia meninggal di Ende tanggal 5 Maret 1995.
Selama di Ritapiret P. Zakarias menjadi bapak rohani bagi para frater. Sekalian menjadi saudara senior bagi para romo. Ia setia mendengar konsultasi rohani para frater. Banyak frater memilihnya sebagai bapa pengakuan. Juga para imam. Depan ruang pengakuannya selalu ada antrean panjang calon imam untuk “menyetor dosa-dosa”. Kata “stor dosa” sangat populer di kalangan kami saat itu.
Sering kali kami saling guyon. “Beritahu seksi liturgi cari imam-imam tua di Ledalero. Lebih bagus lagi kalau mereka yang yang antenenya rusak atau gangguan pendengaran. Mereka pasti tidak dengar dosa-dosa kita ha ha ha….” Kami tahu ini guyonan konyol.
Para senior mengingatkan kami: “Yang begitu tidak berlaku untuk P. Zakarias. Beliau tahu semua tentang kita. Ia mendengar pengakuan dengan mata tertutup. Tapi jangan salah sangka. Beliau tahu tentang kita. Lebih baik mengaku jujur. Ia orang saleh. Jangan sembunyikan dosa di hadapan beliau. Penglihatannya tembus pandang. Nasihat dan absolusinya selalu mengena”.
Setelah kepergian P. Zakarias, dua tahun kemudian P. Simeon Bera Muda SVD datang. Saya ingat ketika itu tahun 1993. Saya dan teman-teman baru saja naik tingkat 4 atau smester 7 di STFK Ledalero. Awalnya RD. Silvester San(Saat ini Mgr. San, Uskup Denpasar) mendampingi kami. Tapi beberapa waktu kemudian RD. San melanjutkan studi doktorat ke Roma.
P. Simeon menggantikan RD. San dan melanjutkan tugas pendamping tingkat kami. Beliau mengemban banyak tugas. P. Simeon mengajar kitab suci dan bahasa Yunani di STFK Ledalero. Bagi saya pribadi, beliau mengampu dua ilmu yang sulit. Tapi kedua ilmu itu sangat penting bagi calon imam. Perkuliahan terasa kering, mengundang rasa ngantuk dan membosankan bila cara penyajian tidak menarik.
P. Simeon memahami kesulitan mahasiswa. Mereka tidak mudah memahami mata kuliahnya. Karena itu beliau menggunakan metode kuliah partisipatif. Kami harus mencatat, menulis dan mengisi lembaran-lembaran tugas. Banyak dari antara kami berwajah cemberut. Bahkan ngomel-ngomel. Metode kuliah seperti apa eeee. Kita seperti anak SD atau SMP. Bicaranya juga campur aduk. Bahasa asing, Indonesia dan beberapa bahasa lokal di Flores.
Metode perkuliahan P. Simeon menuntun kami untuk selalu hadir. Ia mendorong kesetiaan mengikuti kuliah. Jangan sering absen dan bolos. Kita akan banyak ketinggalan. Kita susah mengejar ketertinggalan. Catatan juga dinilai saat ujian. Simeon mengajarkan sebuah proses penyadaran. Ia mengajarkan ketelitian. P. Simeon menjadikan mata kuliah kitab suci lebih hidup. Juga mudah dipahami dan tidak membosankan.
Selain dosen, P. Simeon menjadi pendamping tingkat kami. Dia berusaha mengenal kami satu persatu. Ia harus membaca perkembangan refleksi panggilan kami. Dia menyiapkan materi pendampingan. Dia bertemu kami secara rutin. Sesuatu yang tidak mudah. Dia harus memerhatikan cura personalis, memahami karakter kepribadian kami.
P. Simeon berkerja bersama kami. Saat itu banyak bongkahan tembok pecah sisa gempa di lantai tiga unit teologan. Setiap jam kerja, selalu ada kelompok yang menghancurkan reruntuhan tembok beton. P. Simeon ada di sana. Tangannya pernah memegang hamar-hamar berat itu. Sebuah model pendampingan pastoral kehadiran. Kehadiran langsung seorang pendamping lebih berdaya dari kata-kata di mimbar kotbah atau meja konferensi.
P. Simeon juga memelihara sapi, kambing, babi. Untuk kekayaan diri? Tidak! Dia menolong orang-orang susah. Ia memberikan teladan untuk mengisi hari-hari hidup. Hampir setiap hari P. Simeon menyisihkan waktu mencari makanan ternaknya. Ia tampil beda. Pembawaan diri yang khusus. Dia sering ditertawakan. Tapi dia maju terus. Ia mengajarkan calon imam agar menjadi diri sendiri. Orang tidak harus menyukai kita. Dan kita tidak perlu peduli. Simeon mengajarkan kecerdasan sosial pastoral secara nyata. Ia nengajarkan rasa cinta pada Opus Manuale.
Saya pernah berada di wilayah paroki yang sulit. Amunisi ekonomi pastoran dan paroki tidak selalu stabil dan tersedia. Kita perlu lebih kreatif. Berani ke kandang atau kebun. Kita butuh semangat kerendahan hati. Kerendahan hati dibentuk melalui pembiasaan dan melewati proses belajar kreatif selama masa pendidikan. Proses kreatif dimulai dari hal-hal kecil. Cura minorum. Kebesaran sejati datang dari kerendahan hati.
Saya tak tahu persis berapa lama P. Simeon menjadi pendamping calon imam diosesan di Ritapiret. Rupanya lima tahun. Dia menjadi guru, sahabat, teladan bagi para imam dan awam. Seorang guru, pendidik dan pewaris teladan yang baik pasti akan selalu didoakan dan dikenang. Selamat jalan P. Simeon. Terima kasih atas jasamu. Jasa sebagai dosen di IFTK Ledalero. Jasa sebagai imam yang memberikan teladan hidup. Jasa sebagai pendamping yang memberikan tuntutan. Namamu tertulis dalam sejarah dan terpatri dalam hati. Selamat jalan IMAM SVD PENDAMPING PARA CALON IMAM PROJO.