Dugaan Korupsi Pasar Danga dalam Catatan Hukum

Beny Daga (Doc. Ist.)

Oleh: Beny Daga*

Dugaan korupsi pasar Danga kembali mencuat usai AKBP Yudha Pranata dimutasi ke Polres Bima Kota berdasarkan telegram Kapolri Listyo Sigit Prabowo sebagai bagian dari “tour of duty and tour of area” untuk menjawab kebutuhan pelayanan kepada masyarakat, sebagai gantinya Kapolri menunjuk AKBP Andrey Valentino sebagai Kapolres Nagekeo yang baru untuk menggantikan AKBP Yudha.

Bersamaan dengan pemberitaan mutasi tersebut, hampir semua pemberitaan media cetak dan daring lokal serempak memuat berbagai persoalan hukum yang sedang dilidik atau disidik di Polres Nagekeo dan bagaimana keberlanjutan untuk kasus-kasus yang memang menjadi atensi publik, salah satunya tentu kasus dugaan korupsi pasar Danga yang pada masa kepemimpinan AKBP Yudha menjadi “diskusi panas”, bukan saja persoalan status tersangka kepada orang-orang yang diduga sebagai pelaku tetapi lebih jauh dari itu tentang bagaimana proses selanjutnya kepada para tersangka di tangan Kapolres yang baru. Publik tentu menaruh banyak harapan kepada AKBP Andrey Valentino perihal sengkarut pasar Danga ini, apakah akan bertindak setegas dan se-berani AKBP Yudha atau akan memainkan “bidak catur” yang berbeda untuk menuntaskan persoalan pasar Danga ini? Wait and see.

Mengutip salah satu media (lokal) dalam pemberitaannya, menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2023 penyelesaian kasus di Nagekeo yang ditangani oleh Polres Nagekeo mencapai angka 57,4 % bahkan satu tahun sebelumnya atau tepatnya di tahun 2022 tingkat penyelesaian kasus yang ditangani oleh Polres Nagekeo menyentuh angka 97,9 %. Terlepas atas angka-angka ini harus perlu untuk divalidasi lagi atau tidak, publik tetap berharap agar catatan positif yang diwariskan oleh AKBP Yudha Pranata sebagai Kapolres terdahulu bisa diteruskan oleh AKBP Andrey Valentino. Terlepas adanya pro dan kontra, catatan warisan kerja yang dilakukan setidaknya sebagai sebuah pengingat, bahwa approval rating AKBP Yudha Pranata sebagai kapolres Nagekeo dalam memimpin jajaran korps bhayangkara di Nagekeo untuk menuntaskan berbagai kasus patutlah diapresiasi meskipun terselip sedikit banyak catatan sana-sini sebagai sebuah saran agar AKBP Andrey Valentino bisa meneruskan hal-hal baik tersebut atau setidaknya membuat harapan publik Nagekeo lebih hidup untuk menjawab semua keraguan soal kasus-kasus yang hingga saat ini belum tuntas diselesaikan.

Sebagai sebuah catatan akhir tahun untuk beberapa kasus yang masih mengendap di Polres Nagekeo, tulisan ini hanya akan mengulas satu bagian kecil dugaan korupsi pasar Danga dari aspek pidana, namun demikian ulasan ini tentu hanya terbatas dalam proses di tingkat penyidikan sebagai pekerjaan rumah yang harus bisa diselesaikan oleh AKBP Andrey Valentino. Tidak salah juga kalau kemudian ekspektasi publik sangat kuat agar sebagai Kapolres Nagekeo yang baru, AKBP Andrey Valentino setidaknya bisa meneruskan catatan-catatan positif yang sudah dibuat oleh kapolres terdahulu; AKBP Yudha Pranata.

Pengembalian berkas perkara (P21) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana

Sengkarut pasar Danga kembali ramai, ketika Kejaksaan Negeri Ngada melalui Kasie Pidsus beberapa waktu yang lalu kepada media menyebutkan bahwa pelimpahan berkas dugaan korupsi Pasar Danga belum bisa diproses lebih lanjut sebagai akibat berkas perkara yang disampaikan oleh penyidik pada Polres Nagekeo belum lengkap statusnya, masih P-19, artinya masih ada petunjuk dari penuntut umum yang belum dipenuhi oleh penyidik. Dengan dikembalikannya berkas dugaan korupsi pasar Danga tersebut ke penyidik Polres Nagekeo kemudian menimbulkan pendapat yang hampir sebagain besar dari kelompok yang tidak memahami hukum secara baik kemudian memainkan isu bahwa dugaan korupsi pasar Danga hanyalah sebuah upaya kriminalisasi terhadap para tersangka atau pejabat lainnya yang terseret dalam dugaan korupsi Pasar Danga.

Tafsir ruang publik menjadi tidak berimbang dan liar, apalagi jelang pesta demokrasi, persoalan hukum tidak terkecuali sengkarut pasar Danga yang sedang disidik oleh Polres Nagekeo digoreng ke nuansa politis. Polres Nagekeo dan Kejaksaan Negeri Ngada dinarasikan sedang berpolitik dalam kasus pasar Danga oleh orang perorangan yang tidak memahami hukum (Pidana) secara utuh. Faktanya hukum tetaplah hukum yang tidak boleh dilihat unsur politis di dalamnya, tidak boleh ada tendensi politik apapun dalam pengungkapannya; pure penegakan hukum.

Lantas, seperti apa posisi dan proses hukum terhadap para tersangka dalam dugaan korupsi Pasar Danga saat ini setelah berkas masih dinyatakan P-19? Proses-proses seperti ini lazim dan normal dipraktekkan dalam tataran hukum acara pidana. Lain soal P-19 yang diberikan oleh Jaksa kepada penyidik tidak disertai dengan petunjuk, tentu bisa jadi perdebatan sebab substansi pengembalian berkas haruslah diikuti dengan petunjuk, bagian mana dari berkas yang dinyatakan kurang agar menjadi sempurna suatu berkas sebelum diterima oleh penuntut umum atau dinyatakan P-21.

Demikian pun dalam prakteknya kalau kita memperhatikan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP pada pasal 1 angka (1), (2), (3), (4) dst, pasal 2 dst, pasal 4, pasal 5, pasal 6 dst, kemudian Perpol No. 6 Tahun 2019 Tentang Pencabutan Perkap No. 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Tindak Pidana dan atau Peraturan Bersama Kapolri dan Jaksa Agung RI No. 2 Tahun 2006 Tentang Optimalisasi Koordinasi dalam Pemberantasan Tipikor, sudah diterapkan dalam berkas perkara yang dikembalikan tersebut, artinya proses-proses sebagaimana yang menjadi petunjuk dari penuntut umum pada kejaksaan sudah dilakukan oleh penyidik.

Pertanyaanya, apakah masih ada hal lain sampai suatu perkara yang telah jelas tempus-nya, locus delecti-nya, bahkan status hukum para pelaku sudah dikantongi, belum juga dieksekusi oleh penuntut umum? Hal-hal seperti ini yang harus kita sampaikan dengan clear agar publik tercerahkan. Kita tidak sedang mendukung penyidik kemudian di satu sisi menyalahkan penuntut umum atau bahkan lebih ekstrim lagi menyebutkan bahwa para tersangka sebagai pelaku kriminal.

Hal umum dalam perkara pidana korupsi pasar Danga ini kemudian yang harus bisa dipahami dan disampaikan kepada publik adalah, apakah perdebatan antara Penyidik pada Polres Nagekeo dan Jaksa pada Kejaksaan Negeri Ngada sehingga sengkarut dugaan korupsi pasar Danga tidak segera diselesaikan memiliki korelasi dengan delik pidana kurang bukti ataukah dalam sangkaan pasal tindak pidana korupsi tidak tepat terhadap subjek hukum, sehingga perlu ada tersangka lain yang harus ditarik dalam persoalan Pasar Danga ini sebagai deelneming? Pengembalian berkas perkara yang disertai dengan petunjuk karena dianggap belum lengkap (P-19), tentu bukanlah hal yang biasa, sebab dalam kasus-kasus pidana, baik itu pidana umum atau pidana khusus, tentu syarat formil dan syarat materiil selalu terpenuhi dari sudut pandang sidik bahkan dari proses lidik dengan ketentuan minimal dua alat bukti terpenuhi sesuai UU No. 8 Tahun 1981 dalam pasal 184 KUHAP sebelum diproses pada tahap-tahap lebih lanjut.

Pertanyaannya kemudian, apabila tersangka telah ditetapkan (ditahan atau tidak ditahan alasan subjektif dan objektif) lalu proses pelimpahan ditolak oleh penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Ngada, apakah terhadap perkara yang sedang disidik berikut tersangka dan barang bukti tindak pidana menjadi tidak sah? Kemudian terhadap tersangka apakah masih bisa diproses? Atau, apakah tanggungjawab pidana tersangka menjadi lepas atau bebas demi hukum? Atau, apakah terhadap keseluruhan proses hukum yang telah selesai di tahap penyidikan menjadi gugur karena pelimpahan berkas dari penyidik ke penuntut umum belum dinyatakan P-21?
Kalau demikian adanya, bagaimana menyikapi berkas perkara yang belum juga dinyatakan lengkap atau P-21 oleh penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Ngada? Bagaimana, kemudian status perkara dugaan korupsi Pasar Danga apabila berkas perkara belum juga dinyatakan lengkap oleh penuntut umum? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak akan selesai dijawab.

Terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam itu, dalam sudut pandang hukum pidana yang dianut di Indonesia, baik dalam doktrin pidana (pidsus dan pidum) bahkan yurisprudensi (putusan hakim terdahulu) tidak pernah dijumpai suatu alasan hukum apapun yang menyebutkan seorang tersangka berikut barang bukti, baik yang diatur dalam syarat formil maupun syarat materiil, menjadi hilang pertanggungjawabannya hanya karena ditolaknya pelimpahan dari penyidik kepada penuntut umum.
Tanggung jawab pidana oleh seseorang hanya bisa dihentikan melalui mekanisme sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP dalam pasal 109 ayat (2) dari sisi Penyidik Polres Nagekeo untuk terbitkan SP3 atau pasal 1 angka 10 kemudian pasal 77 sampai dengan pasal 83, pasal 95 ayat (2) dan ayat (5), pasal 97 ayat (3) dan pasal 124, bahkan perluasan tanggungjawab pidana bisa saja dihentikan oleh karena terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2014 Tanggal 28 April 2015 yang cukup tegas menjamin perluasan penghentian tanggung jawab pidana baik di tingkat penyidik maupun penuntutan. Di luar ketentuan yang ada dan diatur dalam bagian-bagian pasal per pasal hingga putusan MK tersebut, tertutup kemungkinan lain soal lepasnya tanggungjawab pidana secara legal prosedural.

Bagaimana sengkarut pasar Danga diurai?

Kemudian untuk menjawab kegelisahan para pencari keadilan, apakah pengembalian berkas perkara dugaan korupsi Pasar Danga oleh penuntut umum sudah cukup untuk menghentikan sebuah perkara yang sedang disidik? Pendapat pribadi saya, tidak! Sebab cara dan mekanisme penghentian perkara pidana bukan memakai alas dasar P-19 oleh penuntut umum.

Perkara pidana hanya bisa dihentikan melalui proses yang cukup secara hukum, dalam artian bisa melalui mekanisme peradilan sesuai rumusan praperadilan yang secara limitatif diatur dalam pasal 77 sampai dengan pasal 83 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Selain itu ketentuan KUHAP dalam pasal 7 ayat (1) huruf i jo pasal 109 ayat (2) jo pasal 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP menjadi alasan penting suatu perkara pidana bisa dihentikan.

Dengan demikian, implikasi hukumnya terhadap perkara yang sedang disidik oleh penyidik tidak bisa dihentikan di luar mekanisme yang sudah diatur dalam KUHAP, sekalipun pelimpahan berkas perkara oleh penyidik ditolak penuntut umum. Penolakan yang dilakukan oleh penuntut umum lebih pada dua hal, yang pertama dikarenakan belum terpenuhinya syarat formil, dan kedua belum terpenuhinya juga syarat materiil.

Lantas bagaimana dengan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) yang sempat diusulkan oleh beberapa praktisi hukum dan akademisi sebagai instrument yang “harus” digunakan oleh penyidik polres Nagekeo agar persoalan dugaan korupsi pasar Danga bisa dihentikan? Kalau kita memakai pedoman sebagaimana yang diatur dalam pasal 109 ayat (2) KUHAP, hal itu bisa-bisa saja dilakukan. Pertanyaanya kemudian apakah sesederhana seperti pendapat para praktisi hukum yang lainnya agar SP3 harus diterbitkan oleh penyidik pada polres Nagekeo untuk menjawabi sengkarut pasar Danga?

Setidaknya poin-poin sebagai catatan saya yang berhubungan dengan persoalan pasar Danga kurang lebih seperti ini;

1). Persoalan pasar Danga itu murni persoalan hukum yang di dalamnya siapapun tidak boleh mengintervensi apalagi menunggangi untuk kepentingan politik. Hukum bekerja pada dimensi pembuktian dengan citra data dan fakta bukan asumsi, sebab kalau ada praktisi atau akademisi yang berbicara hukum menggunakan asumsi sudah pasti orientasinya politis, karena hukum tidak mengenal itu (asumsi) hukum bicara kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, di luar itu belum ada doktrin hukum manapun yang membuat pendekatan untuk mendapatkan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan, menggunakan asumsi karena asumsi itu kamarnya para politisi bukan untuk kami sebagai pegiat atau praktisi atau akademisi hukum.

2). Jelas dalam berbagai kesempatan, pendapat pribadi saya soal pasar Danga ini tidak bisa dihentikan diluar proses dan mekanisme hukum acara, apalagi dugaan korupsi tentu isunya yang dilihat bukan lagi nilai kerugian tetapi perbuatan atau deliknya. Delik korupsi yang mau dibuktikan tentu tidak bisa dibuktikan diluar ketentuan pasal 184 KUHAP karena itu alas hukum yang dipakai untuk menunjukkan, apakah delik korupsi dalam pasal 2 dan atau pasal 3 UU TIPIKOR jo pasal 55 dan 56 ayat 1 ke – 1 sebagai perbuatan deelneming terpenuhi atau tidak? Saya selalu katakan, kalau terpenuhi unsur harusnya APH menindaklanjuti prosesnya agar ruang kepastian hukum terakomodir dengan baik dan hak hukum setiap orang yang terlibat dalam pasar Danga bisa diperoleh.

3). Polres Nagekeo di bawah komando AKBP Yudha (sebelum dimutasi) sudah bekerja baik untuk mengusut persoalan pasar Danga ini, dengan melakukan pulbaket baik disisi tempus maupun locus delecti-nya (waktu dan tempat tindak pidana) setidaknya pendapat pribadi saya sudah cukup baik, bahwa kemudian terdapat pro dan kontra soal proses dan mekanisme lidik dan sidik hingga penetapan tersangka tentu itu adalah bagian dari yurisdiksi penyidik yang saya katakan pada poin pertama tadi, tidak boleh diintervensi siapapun selain melalui proses yang sah dan patut.
Bagaimana kemudian, misalkan saya menyebutkan bahwa penyidik di bawah komando AKBP Yudha tidak betul dan gagal mengkonstruksikan delik pidana dugaan korupsi pasar Danga sementara saya sendiri bukan penyidik yang tentu lebih tau bagaimana mempraktikkan tekhnis penyelidikan dan penyidikan?
Jadi, kalau saya berpendapat apa yang dibuat dan dikerjakan oleh penyidik dibawa komando pak Yudha sudah betul tinggal saja nanti dibuktikan apakah terpenuhi unsur atau tidak pasal 2 dan pasal 3 UU TIPIKOR jo pasal 55 ayat 1 ke – 1 KUHP. Pada posisi itu tentu kita harus memberikan apresiasi sebab penyidik sudah maksimal sekalipun masih ada catatan yang harus dibenahi oleh Kapolres yang baru.

4). Kalau kemudian terhadap proses dugaan korupsi yang berkasnya masih dinyatakan P19 dan sudah dikembalikan ke penyidik oleh penuntut umum, dalam studi pidana itu hal yang normal dan biasa sebagai sebuah check and rechack demi sempurnanya suatu pembuktian nantinya apabila dinyatakan P21. Bahwa kemudian ada yang menyebutkan bahwa pengembalian berkas otomatis perkara dihentikan, ya sudah pasti keliru dan salah, karena hilangnya hak penyidik untuk menyidik bukan karena ditolaknya berkas dari penuntut umum kepada penyidik tetapi memberikan kesempatan kepada penyidik untuk melengkapi petunjuk penuntut umum.

5). Sengkarut dugaan korupsi pasar Danga tidak bisa juga dihentikan dengan preasure menggunakan SP3, sebab syarat terbit SP3 juga harus melewati poin – poin sebagaimana yang diatur dalam pasal 109 KUHAP itu sendiri. Kelihatan akan lebih mudah dan gampang dengan kata “terbitkan” SP3 seperti saran banyak praktisi dan akademis hukum lewat pendapatnya, tentu sah – sah saja sebab namanya pendapat hukum bisa saja berbeda, tetapi lekaslah yang harus dilihat adalah syarat dasar terbit SP3 tidak boleh salah dan mengangkangi hak hukum negara, artinya apabila negara dirugikan atau tidak dirugikan ada proses lain yang lebih bermartabat lewat praperadilan kalau memang SP3 tidak diberikan.
Kita juga harus memberikan pesan kepada PH para tersangka agar tempuh proses hukum, kalau kita berteriak kemudian saling lemparkan kesalahan atau bahkan menyerang personal dan berburuk sangka, sudah pasti tidak ada solusi yang kita temukan, yang tersisah hanyalah dendam dan amarah. Kita akan kehabisan energy untuk hal yang tidak solutif, jadi poinya siapapun kita yang memiliki kemauan yang kuat untuk tegaknya hukum tentu kita akan menempuh cara – cara yang lebih bermartabat secara hukum, kita berikan dorongan dan saran agar PH para tersangka untuk berani ambil opsi hukum, agar apa? Agar status hukum para tersangka jelas dan terang.
PH para tersangka harus diberi porsi juga biar berimbang dan tidak hanya diam menonton ketika para tersangka yang nota bene kliennya habis disandera dalam ketidakpastian secara hukum.

6). Kita mendorong bersama agar Kapolres Nagekeo yang baru bisa lebih teliti dan cermat dalam mengusut kasus pasar Danga ini atau setidaknya melanjutkan pekerjaan rumah yang sudah baik ditinggalkan oleh pak Yudha sebagai Kapolres lama agar bisa tuntas dan terang.

Hal lain yang harus menjadi perhatian di tengah sengkarutnya persoalan pasar Danga, kemudian publik juga terus bertanya ada apa dengan pasar Danga dan bagaimana posisi hukum para tersangka dan seperti apa sikap penyidik pada polres Nagekeo oleh karena ‘bolak-balik’ berkas perkara dari penyidik ke penuntut umum kemudian kembali ke penyidik lagi sehingga menimbulkan banyak spekukasi liar, pendapat pribadi dan saran saya kepada kedua institusi, baik Polres Nagekeo atau Kejaksaan Negeri Ngada, penting untuk diperhatikan dua hal berikut :

• Pertama

Penyidik Polres Nagekeo bisa saja membawa persoalan dugaan korupsi Pasar Danga ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) apabila merasa terdapat hambatan agar dapat dilakukan supervisi dengan didasarkan pada ketentuan sebagaimana yang diatur dalam pasal 9 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan atau ayat (4) Perpres No. 102 Tahun 2020 sebagai turunan dari pasal 10 UU KPK 19/2019.

• Kedua

Apabila penyidik Polres Nagekeo mengalami kesulitan sebagai akibat petunjuk dari penuntut umum yang mustahil untuk dipenuhi, sementara proses dan petunjuk sebelumnya sudah maksimal dilakukan oleh penyidik, maka penuntut umum boleh saja menggunakan mekanisme hukum sesuai dengan Undang-Undang Kejaksaan sebagaimana diatur dalam pasal 30 ayat (1) huruf (d) untuk melakukan pemeriksaan tambahan terhadap materi perkara yang sebelumnya tidak atau belum dipenuhi oleh penyidik.
(Terhadap opsi kedua ini, kemungkinannya sangat kecil, sebab penuntut umum memiliki waktu yang sangat singkat dan objek pemeriksaannya juga terbatas, sehingga cukup sulit untuk dilakukan secara maksimal guna melengkapi keterangan yang dianggap kurang dari pemeriksaan sebelumnya oleh penyidik).

*) Praktisi Hukum BENITIUS RK & Rekan – Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *