Opini  

Ketika Hukum Terkoyak: Kritik atas Kericuhan Sidang Razman dan Hotman

Gregorius Upi Dheo, S.H., M.H.

Oleh: Gregorius Upi Dheo, S.H., M.H.*

Kericuhan dalam persidangan antara Razman Arif Nasution dan Hotman Paris setelah hakim meninggalkan ruang sidang, bukan sekadar tontonan memalukan, tetapi juga simbol krisis dalam disiplin dan penghormatan terhadap hukum. Ruang sidang yang seharusnya dijaga kehormatannya justru menjadi arena adu emosi yang memperlihatkan betapa rapuhnya wibawa hukum ketika ego pribadi menguasai situasi.

Hakim meninggalkan sidang memang menandai bahwa sesi telah dihentikan, tetapi aturan hukum tidak boleh ikut hilang. Sayangnya, ketidakhadiran hakim dijadikan celah oleh Razman dan tim kuasa hukumnya untuk meluapkan amarah tanpa batas. Dengan menunjuk-nunjuk Hotman dan aksi salah satu kuasa hukum yang naik ke meja sidang, mereka mengabaikan sepenuhnya esensi ruang sidang sebagai tempat mencari keadilan, bukan tempat mempertontonkan kekuatan.

Para advokat yang terlibat dalam kericuhan ini seharusnya menjadi panutan dalam menjaga ketertiban dan menegakkan hukum. Namun, mereka justru memperlihatkan kegagalan memahami tanggung jawab profesi mereka. Advokat memiliki kewajiban tidak hanya kepada klien, tetapi juga kepada lembaga hukum itu sendiri.

Tindakan emosional seperti ini mencerminkan lemahnya kontrol diri dan minimnya rasa hormat terhadap pengadilan. Tanpa adanya sanksi tegas dari PERADI atau organisasi advokat lainnya, perilaku serupa akan terus berulang dan mencoreng wibawa peradilan di masa depan.

Media juga tidak bisa lepas dari kritik. Alih-alih melaporkan substansi kasus, media justru membingkai peristiwa ini sebagai drama yang layak ditonton publik. Fokus utama berita adalah pada โ€œRazman ngamukโ€ dan โ€œKuasa hukum naik mejaโ€, bukan pada inti dari persidangan itu sendiri. Akibatnya, publik tidak mendapatkan pemahaman yang benar tentang proses hukum, melainkan hanya sensasi dan konflik personal. Media seharusnya berperan sebagai pemberi informasi yang berimbang, bukan mesin pemburu klik yang mengorbankan edukasi publik.

Peristiwa ini adalah peringatan keras bahwa hukum kita sedang menghadapi tantangan serius. Jika kericuhan seperti ini dibiarkan tanpa konsekuensi, ruang sidang akan kehilangan kehormatannya. Para advokat yang seharusnya menjadi penjaga hukum malah menjadi ancaman bagi tertibnya persidangan. Oleh karena itu, perlu langkah nyata untuk mengembalikan martabat hukum, dimulai dengan memberikan sanksi tegas bagi pelanggar tata tertib, memperkuat pengawasan ruang sidang, dan menuntut media untuk menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab.

Keadilan bukanlah panggung drama. Jika hukum terus dikalahkan oleh ego dan permainan media, maka yang tersisa hanyalah kekacauan, dan masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaannya pada sistem hukum.

*) Praktisi Hukum, saat ini berdomisili di Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *