Oleh: Ermelinda Noh Wea*
Media sosial telah menjelma menjadi panggung utama interaksi sosial digital, tempat segala bentuk ekspresi baik yang bersifat positif mapun negatif dipertontonkan secara luas. Di antara tren yang kini mengkhawatirkan adalah normalisasi hubungan toksik yang dikemas dalam narasi romantis dan viralitas konten. Lebih jauh, tidak sedikit dari konten–konten yang mulai menampilkan eksploitasi aspek seksual secara berlebihan mulai dari gaya bercinta yang vulgar, hingga pornografi terselubung yang sejatinya merupakan ranah privat, namun justru dipublikasikan sebagai konsumsi publik. Hal ini memperlihatkan degradasi batas antara privasi dan eksistensi digital, yang berdampak serius terhadap persepsi masyarakat tentang cinta, relasi dan seksualitas.
Salah satu bentuk yang paling mudah ditemukan adalah konten pasangan yang saling kontrol, menciptakan konflik emosional yang intens, hingga mempermalukan satu sama lain. Bentuk-bentuk kekerasan emosional ini justru dikemas dalam narasi cinta: “cemburu tanda sayang, dikuasai tanda perhatian, atau drama pasangan sebagai bumbu hubungan”. Masalahnya perilaku ini tidak dianggap normal tetapi juga diromantisasi dan ditiru, banyak remaja dan pengguna muda media sosial mulai menganggap bahwa cinta yang sejati harus penuh gejolak, penuh larangan dan penuh drama. Ini adalah bentuk kekeliruan yang sedang kita wariskan secara kolektif melalui algoritma dan ketidakkritisan kita terhadap konten digital.
Di sisi lain, muncul pula tren yang lebih mengkhawatirkan, konten pasangan yang secara eksplisit menunjukkan adegan sensual, bahkan menyerempet pornografi dengan dalih “edukasi hubungan, kebebasan berekspresi atau sekadar hiburan”. Mereka mempertontonkan gaya bercinta, desahan suara atau adegan ranjang. Seringkali, ini dibungkus dalam bentuk tantangan viral (challenge), vlog pasangan suami istri, hingga sesi tanya jawab soal kehidupan seksual yang eksplisit. Bukannya menjadi edukasi, yang terjadi justru eksploitasi di mana tubuh dan seksualitas digunakan sebagai alat untuk mendapatkan klik, tayangan, dan viralitas. Publik pun secara perlahan kehilangan sensitivitas terhadap nilai privasi, etika seksual, dan batasan dalam mengekspresikan keintiman. Demi engagement dan popularitas, banyak yang dengan sadar memproduksi konten dramatis, tanpa mempertimbangkan dampak sosialnya. Relasi toksik dijadikan tontonan, dan masalah pribadi dipamerkan untuk konsumsi publik.
Tentu tidak adil jika kita menyalahkan hanya satu pihak. Fenomena ini adalah hasil dari interaksi kompleks antara kreator, platform media sosial, audiens, dan sistem pendidikan kita yang belum siap menghadapi gelombang digitalisasi budaya. Kreator konten harus mulai memahami bahwa mereka bukan hanya penyedia hiburan, tetapi juga agen pembentuk persepsi sosial. Menampilkan hubungan toksik atau aspek seksual secara terbuka bukan hanya tidak etis, tetapi juga bisa membahayakan perkembangan psikososial penontonnya. Platform media sosial pun perlu memperketat kebijakan moderasi terhadap konten vulgar dan manipulatif, serta menempatkan etika digital sebagai prioritas dalam pengembangan algoritma. Selain itu masyarakat, sebagai audiens, perlu meningkatkan literasi media, literasi emosi, dan literasi relasi.
Kita perlu belajar memilah antara konten yang sehat dan yang merusak, serta tidak sembarangan memberikan panggung bagi konten yang seharusnya dikritisi. Disamping itu juga literasi relasi masih sangat minim dalam sistem pendidikan kita. Kurikulum lebih menekankan capaian akademis daripada membekali peserta didik dengan pengetahuan tentang kesehatan mental dan hubungan interpersonal yang sehat.
Pendidikan harus menjadi garda depan dalam membangun kesadaran kritis terhadap relasi yang sehat dan setara. Literasi digital juga perlu dimasukkan secara lebih sistematis, agar generasi muda tidak hanya menjadi konsumen informasi, tapi juga mampu memilah dan mengevaluasi dampaknya.
Jika tren ini terus berlanjut, kita bukan hanya menormalisasi hubungan yang penuh kekerasan emosional, tetapi juga menciptakan masyarakat yang tumpul terhadap nilai privasi dan penghormatan terhadap tubuh. Seksualitas dijadikan alat hiburan, relasi dijadikan konsumsi publik, dan cinta dijadikan pertunjukan dramatis yang kehilangan esensinya.
Normalisasi toxic relationship bukan sekadar masalah hubungan personal, tapi telah menjadi persoalan budaya. Jika dibiarkan, kita akan membentuk masyarakat yang menoleransi kekerasan emosional sebagai ekspresi cinta. Dan ini adalah bentuk kekeliruan yang berbahaya. Karena cinta seharusnya memerdekakan, bukan mengurung. Hubungan seharusnya saling menguatkan, bukan saling melemahkan. Sudah waktunya kita bertanya: hubungan seperti apa yang sedang kita promosikan? Dan masa depan seperti apa yang sedang kita bentuk jika setiap sisi paling intim dari kehidupan kita dipertontonkan tanpa filter dan kesadaran etik? Cinta bukan dominasi. Keintiman bukan konsumsi publik. Dan hubungan bukan panggung drama yang harus terus viral. Semua pihak mengambil peran: kreator harus lebih bertanggung jawab dalam memilih konten, platform media sosial harus memperbaiki sistem moderasi, institusi pendidikan harus aktif mengajarkan relasi sehat, dan masyarakat harus lebih kritis dalam mengonsumsi dan menyikapi konten digital.
*) Penulis adalah Ketua Pemuda Katolik Nagekeo. Saat ini mengabdi dan menetap di Nagekeo.