Oleh: Ermelinda Noh Wea*
Gagasan Presiden Prabowo Subianto untuk mendirikan Sekolah Rakyat membawa harapan baru dalam dunia pendidikan nasional. Program ini menyasar anak-anak dari keluarga miskin, pedesaan, dan daerah tertinggal, kelompok yang selama ini berada di pinggiran sistem pendidikan formal. Di atas kertas, ini adalah jawaban atas mandat konstitusi: pendidikan yang adil dan merata untuk seluruh rakyat Indonesia. Namun, sebagaimana setiap kebijakan yang lahir dari semangat populis, Sekolah Rakyat tak luput dari tantangan konseptual dan struktural. Di tengah upaya merealisasikan pendidikan inklusif, muncul pertanyaan besar apakah program ini akan menjadi jembatan keadilan, atau justru menciptakan fragmentasi baru dalam sistem pendidikan nasional? Namun, sebagaimana gagasan besar lainnya, program ini memerlukan penelaahan cermat agar tidak menjadi sekadar narasi kebijakan yang mengundang tepuk tangan, tetapi gagal dalam pelaksanaan.
Potensi kehadiran Sekolah Rakyat membawa semangat pemerataan. Dengan menyediakan fasilitas gratis termasuk asrama, makanan, pakaian, dan pengajaran, negara mengambil peran aktif dalam menjangkau anak-anak dari keluarga miskin yang selama ini terpinggirkan. Program ini juga menawarkan fleksibilitas pembelajaran melalui sistem multi entry, multi-exit, yang memungkinkan siswa masuk dan keluar sesuai kesiapan serta latar belakang pendidikan mereka. Ini penting, mengingat banyak calon peserta didik berasal dari kelompok yang telah lama tidak bersekolah. Jika dikelola dengan serius, Sekolah Rakyat dapat menjadi model baru pendidikan kontekstual berbasis komunitas.
Sekolah rakyat ini juga akan menghadapi tantangan yakni persoalan legitimasi dan akreditasi. Bila Sekolah Rakyat tidak sepenuhnya terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional, maka lulusannya berpotensi tidak diakui dalam seleksi perguruan tinggi atau pasar kerja formal. Ini akan memperkuat stigma bahwa Sekolah Rakyat adalah “pendidikan alternatif” yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak punya pilihan lain. Belum lagi ditambah soal kualitas pengajaran. Di tengah kompleksitas sistem pendidikan nasional, kehadiran Sekolah Rakyat berpotensi menimbulkan persaingan yang tidak seimbang. Sekolah swasta yang selama ini beroperasi di wilayah-wilayah miskin dan terpencil sangat mungkin terimbas secara langsung. Sekolah-sekolah yang dikelola yayasan keagamaan, atau komunitas lokal akan menghadapi tekanan eksistensial ketika berhadapan dengan lembaga baru yang sepenuhnya dibiayai oleh negara dan menawarkan fasilitas yang lebih lengkap. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, ini bisa menimbulkan kecemburuan institusional, bahkan resistensi terselubung dari kalangan pendidik. Jika kehadiran Sekolah Rakyat menyebabkan sekolah-sekolah lokal kehilangan murid atau tidak mendapat dukungan lagi dari masyarakat, maka negara justru merusak ekosistem pendidikan yang telah berkembang secara organik. Tantangan semakin nyata ketika menyangkut pemerintah akan merekrut guru melalui skema kontrak kerja individu (KKI). Meski sistem ini mungkin efektif untuk menarik tenaga pendidik secara cepat, ia juga berisiko menimbulkan ketidakstabilan tenaga pengajar. Guru bisa berpindah-pindah, sulit dibina secara berkelanjutan, dan tidak memiliki jaminan karier. Padahal, kualitas pendidikan sangat bergantung pada konsistensi dan kapasitas pengajarnya.
Resiko fragmentasi dalam jangka panjang, jika tidak dikelola secara terintegrasi, Sekolah Rakyat bisa memperkuat pembelahan sosial dalam sistem pendidikan. Akan muncul dua jalur pendidikan: satu formal dan berkualitas untuk yang mampu, dan satu lagi “seadanya” untuk kelompok miskin. Pendidikan seharusnya tidak dikotomis. Pendidikan adalah instrumen pemersatu dan alat mobilitas sosial. Jika negara menciptakan jalur pendidikan yang terpisah berdasarkan kelas sosial, maka itu bertentangan dengan semangat keadilan sosial yang seharusnya menjadi pondasi sistem pendidikan nasional. Selain itu, pembangunan Sekolah Rakyat dalam skala besar akan membutuhkan alokasi anggaran yang signifikan. Di tengah keterbatasan fiskal dan banyaknya kebutuhan dasar yang belum terpenuhi, publik berhak mempertanyakan apakah pendekatan ini adalah cara paling efektif dan efisien untuk mengatasi krisis pendidikan. Risiko lain adalah politisasi pendidikan. Mengingat program ini adalah gagasan khas dari Presiden yang baru menjabat, terdapat kekhawatiran bahwa Sekolah Rakyat akan dijadikan proyek pencitraan jangka pendek yang nasibnya tidak menentu setelah pergantian kekuasaan. Jika tidak ada dasar hukum dan pembiayaan jangka panjang yang kuat, program ini terancam menjadi inisiatif yang bagus di atas kertas, namun gagal di lapangan.
Menuju integrasi dan kolaborasi, Sekolah Rakyat tidak boleh menjadi proyek pencitraan jangka pendek. Ia harus dibangun dengan pendekatan sistemik, terintegrasi dengan kurikulum nasional, dan memiliki mekanisme evaluasi mutu yang transparan. Pemerintah perlu membuka ruang kolaborasi dengan sekolah swasta, pesantren, dan lembaga pendidikan komunitas agar kehadiran Sekolah Rakyat memperkuat, bukan mematikan, inisiatif lokal. Lebih penting lagi, kehadiran Sekolah Rakyat harus menjadi momentum untuk mereformasi sistem pendidikan secara menyeluruh. Masalah pendidikan Indonesia bukan hanya soal akses, tetapi juga relevansi kurikulum, kesejahteraan guru, dan ketimpangan antar daerah. Semua ini tidak akan selesai hanya dengan mendirikan sekolah baru.
Sekolah Rakyat adalah peluang tetapi ia juga ujian. Ia menguji apakah negara mampu menjalankan fungsi distributif dan korektifnya dalam pendidikan tanpa mengorbankan keberagaman ekosistem pendidikan yang sudah ada. Ia menguji apakah kebijakan populis dapat dikawal menjadi kebijakan publik yang berkelanjutan dan berpihak pada kualitas. Pemerintah harus bertindak cepat namun hati-hati. Dalam pendidikan, langkah tergesa bisa membawa luka jangka panjang. Di balik euforia gagasan ini, perhatian terhadap detail pelaksanaan akan menentukan: apakah Sekolah Rakyat akan menjadi tonggak sejarah atau hanya catatan kaki dalam lembar kebijakan pendidikan Indonesia.
Sekolah Rakyat adalah janji besar. Ia bisa menjadi katalis transformasi pendidikan atau sekadar menambah daftar panjang program yang lahir dari niat baik tetapi gagal dalam pelaksanaan. Pemerintah, dalam hal ini Presiden Prabowo dan jajaran teknis, perlu memastikan bahwa program ini bukan hanya respons terhadap kegagalan masa lalu, melainkan fondasi bagi masa depan pendidikan yang lebih adil, inklusif, dan bermutu.
*) Penulis adalah Ketua Pemuda Katolik Nagekeo. Saat ini mengabdi dan menetap di Nagekeo.